SELAMAT DATANG DI ESDEWELDA SITUS SEDERHANA SD NEGERI 2 WELAHAN JEPARA TELP.(0291)4256437

Sabtu, 19 November 2011

DISIPLIN : Mengetuk Hati Guru

Tak ada barang mewah di negeri ini selain kedisiplinan. Mahalnya kedisiplinan nyaris tak terbeli. Berbagai peraturan dibuat cenderung untuk dilanggar, bukan untuk ditaati. Diakui atau tidak bangsa ini paling malas berperilaku disiplin mengikuti aturan.
Bahkan norma yang berlaku di masyarakat dan aturan adat pun sudah mulai banyak dilanggar.
Konvensi yang dibuat bersama dan berlaku dimasyarakat  banyak yang mulai diingkari.  Nilai-nilai luhur pendidikan asli budaya bangsa mulai ditinggalkan. Pendek kata disiplin belum menjadi budaya bangsa kita, termasuk pada guru.  Padahal, disiplin adalah salah satu syarat mutlak menggapai cita-cita besar dalam dunia pendidikan. Tanpa disiplin yang tinggi mutu pendidikan kita akan makin jauh tertinggal dengan bangsa-bangsa lain.

Guru sebagai figur teladan muridnya harus memberi contoh yang baik dalam menegakkan disiplin ini. Mengingat dekadensi moral dan degradasi prestasi yang semakin mencolok, maka perjuangan guru dalam mengemban amanat semakin besar. Mutu pendidikan di negeri ini sudah berada jauh di negeri yang dulu di bawah kita, seperti  Singapura, Brunai Darussalam dan Malaysia. 


Peringkat Human Index Development Indonesia diperkirakan akan makin terpuruk pada tahun  2011 dari rangking 107 dari 177 negara pada tahun 2007, menjadi peringkat ke-111 dari 172 negara(List of Countries by Human Development, wikipedia)semakin jauh tertinggal dengan tiga negara keponakannya. Berdasar data revisi indeks yang dirilis pada tanggal 10 Juni 2011, Singapura diperkirakan berada pada level Very High Human Development yang akan menduduki peringkat 27 dunia.  Disusul Brunai Darusalam pada ranking HID ke-37 dunia.  Sedangkan posisi Indonesia tak bergerak pada level Medium Human Development, jauh dibandingkan Malaysia yang berada pada level High Human Development dan berada pada peringkat 59 dunia.

HDI merupakan potret tahunan untuk melihat perkembangan manusia di suatu negara yang dinilai dari 3 katagori yakni kesehatan, pendidikan dan ekonomi.  Faktor utama penyebab rendahnya HID Indonesia diduga karena rendahnya budaya baca. Bukan saja budaya baca masyarakat yang harus dipertanyakan saat ini. Tapi seberapa besar budaya baca dikalangan guru-guru kita. Padahal para guru seharusnya sudah mulai meningkatkan kompetensinya dari budaya baca menjadi budaya menulis. Jika hari gini budaya baca totalitas belum dimiliki oleh setiap guru Indonesia, mustahil para guru kita akan gemar menulis. Semua bisa dimulai dari guru. Mengapa demikian? Karena merekalah barisan terdepan kelompok elite yang dipercaya banyak ilmu. Ilmu yang bermanfaat harus dibagi, diamalkan. Mestinya guru tak pernah kering dengan ide menulis. Guru hendaknya menjadi teladan dalam menanamkan budaya membaca dan menulis pada setiap muridnya. Guru sebagai kaum intlektual mengemban amanat mencerdaskan masyarakatnya melalui  teladan gemar membaca. Bukan malah sebaliknya. Berperilaku kurang disiplin menghabiskan waktu  untuk kegiatan yang kurang bermanfaat di depan televisi  yang tak jelas tayangannya. 
Sia-sia!

Guru hendaknya bersifat lebih arif dengan situasi sekarang. Setelah stroke gaji dan tunjangan dinaikkan mestinya diikuti pula dengan meningkatkan kinerjanya. Fenomena yang berkembang di masyarakat kita, budaya menonton lebih dominan dibandingkan dengan budaya membaca. Kondisi ini hendaknya membuat para guru terpanggil untuk merubahnya. Jika tidak budaya menonton akan makin menggerogoti kampanye gerakan budaya membaca yang sekarang digembar-gemborkan berbagai kalangan pendidikan itu sendiri. Masa' jeruk makan jeruk, sih?

Realitanya, banyak keluarga di Indonesia justru makin asyik dengan tontonan televisi.  Hasil survey Reseach of Indonesia,  masyarakat kita rata-rata menonton televisi  selama 4 jam perhari.  Kelompok penonton televisi terbanyak adalah balita yakni 4 jam/hari, Ibu rumah tangga  3,5 jam/hari,  Pelajar 3,1 jam/hari, dan  Karyawan 2,3 jam/perhari.  Kondisi ini makin diperparah dengan kecenderungan budaya seluler yang mulai menggabungkan antara multimedia dan komunikasi langsung. Lantas berapa jamkah mereka membaca setiap hari?


Tidak sebaik yang kita duga. Masyarakat kita hanya membaca 0,9 halaman/hari. Jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura yang penduduknya rata-rata membaca 116 halaman/hari, dan Malaysia 109 halaman/perhari. 
Memprihatinkan!

Jangan hanya bisa menyalahkan anak-anak jika hasil belajar mereka menurun.  Sebaiknya dimulai dari keluarga kita masing-masing. Perhatikan hasil survey yang dilaksanakan organisasi PISA berikut ini. Kondisinya cukup memprihatinkan. Tingkat kemampuan membaca kelompok usia anak-anak SD dan SMP rata-rata hanya memperoleh 381,59, Matematika 360,16, Sains 395,04, dan kreativitas memecahkan masalah 361,42.

Realitas buram inilah yang harus membangkitkan semangat guru dalam mengemban tanggung jawab besarnya untuk mengubah pendidikan menjadi dinamis, progresif, dan kompetitif demi masa depan generasi bangsa.
Besarnya tanggungjawab ini seyogyanya membuat guru tidak tega melihat anak didiknya malas, tidak disiplin, dan membuang waktu secara percuma tanpa ada manfaat sama sekali. Pemandangan semacam ini bisa kita lihat sehari-hari. Semua nyata di depan kita. Sepulang sekolah, kegiatannya tak lain hanya bermain, nonton televisi dan malas belajar. Bagaimana mereka bisa berprestasi kalau sehari-hari jauh dari buku, semangat belajarnya lemah dan lingkungannya tidak mendukung?

Di sinilah para guru harus terpanggil untuk memperbaiki kondisi yang memprihatinkan. Lagi-lagi semua itu membutuhkan kedisiplinan yang tinggi. Sudahkan kita disiplin? Mari kita mulai dari sekarang! Kita mulai dari diri sendiri, dari lingkungan kita sendiri. Maaf, anggapan ini bisa jadi kurang benar. Di banyak tempat seperti di Karimunjawa, kini sangat sulit sekali kita temukan keluarga yang tekun membaca koran, majalah, atau buku. Teladan orangtua utamanya guru yang rajin membaca bersama anak dan siswanya mulai pudar. Sehingga boleh dibilang model orangtua pembaca bagi anak-anak pun mulai hilang. Padahal, anak akan mudah belajar dari teladan dan contoh. 

Tinggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, misalnya begadang malam, nonton televisi sampai malam, ngobrol larut malam, dll. Berilah contoh yang baik, yang konkrit dan konstruktif kepada anak didik dan masyarakat. Kalau ada godaan, sekecil apa pun, cepat potong, langsung laksanakan hal baik tanpa berpikir untuk menunda nanti. Setan terlampau cerdas membelokkan maksud baik manusia dengan hal-hal sepele yang melalaikan dan menjerumuskan ke lubang kehinaan, kehancuran, dan kegagalan. Maka berhati-hatilah. Waspadalah! (Pak Dhe)